Oleh: asdan | Maret 11, 2011

Belajar dari gempa Jepang


Mengerikan melihat tayang televisi di Jepang mengenai gempa 8,9 SR yang disusul dengan tsunami. Jepang memang negara rawan gempa, sama seperti negara kita tercinta.

Saya jadi teringat juga tsunami di Aceh pada 2004 silam yang menewaskan ratusan ribu orang. Namun di Jepang, korban jiwa yang dilaporkan akibat tsunami dengan ketinggian hingga 10 meter itu baru 300 orang, setidaknya hingga artikel ini ditulis pada Jumat (11/03/2011) malam.

Apa jadinya kalau kekuatan mahadahsyat itu menerjang Indonesia. Korbannya mungkin lebih banyak. Boleh jadi Jepang memang lebih siap menghadapi bencana. Maklum negara maju ini sudah ratusan tahun menghadapi musibah serupa. Gempa dengan skala kecil sudah menjadi rutinitas, meskipun gempa kali ini terbesar dalam 140 tahun terakhir.

Jepang bahkan mempunyai  Disaster Reduction and Human Renovation Centre (DRI). Ini merupakan pusat penanganan bencana dan rehabilitasi di Kobe yang mengambil pelajaran dari gempa hebat  yang dinamakan The Great Hanshin-Awaji Earthquake dengan kekuatan 7,3 skala Richter pada 16 tahun yang lalu,  tepatnya pada 17 Januari 1995.

Pemerintah Jepang memang melatih warga sejak kecil untuk mengahadapi gempa. Pemerintah Jepang juga tak bosan memberikan peringatan kepada warganya mengenai cara evakuasi, cara menghadapi bencana, dan lain sebagainya.

Hal ini sangat saya rasakan ketika berkunjung ke Jepang selama dua pekan pada November 2010.  Saat mengunjungi produsen destilasi air Metawater yang berkantor di pusat bisnis Tokyo, pengelola gedung kantor itu rutin memberikan peringatan mengenai tata cara evakuasi dari gedung tinggi jika terjadi gempa.

Pembicara menghentikan presentasinya ketika ada peringatan

Pembicara menghentikan presentasinya ketika ada peringatan

Saat itu, saya sedang mengikuti presentasi, tepat pukul 15.00 lalu terdengar nada awal peringatan sama seperti jika ada kereta api lewat di stasiun atau panggilan nonton bioskop. Orang Jepang yang memberikan presentasi kemudian terdiam dan meminta kami mendengarkan peringatan tersebut.

Peringatan pertama disampaikan dalam bahasa Jepang, waktunya sekitar 2-3 menit. “Ini hanya peringatan mengenai evakuasi saat terjadi bencana,” kata salah seorang perwakilan dari Metawater melihat banyak peserta yang tidak mengerti karena disampaikan dalam bahasa Jepang.

Semua yang hadir terdiam dan menyimak. Setelah selesai, presentasi dilanjutkan. 15 menit kemudian, nada peringatan kembali muncul, kali ini disampaikan melalui bahasa Inggris. Peringatan ini menjadi prosedur tetap di gedung kantor tersebut dan secara otomatis akan menyala setiap pukul 15.00 dan 15.15, dalam dua bahasa.

Ini hanya salah satu cara pemerintah Jepang mendidik waganya agar selalu waspada. Cara lainnya banyak.  Gedung jangkung hotel, kantor juga dilengkapi dengan jalur veakuasi yang mudah di baca. Jadi ketika gempa terjadi, proses evakuasi berjalan lancar tidka perlu panik dan mengurangi korban jiwa.

Panik ketika gempa terjadi merupakan salah satu penyebab jatuhnya korban. Saat gempa di Jakarta, pada 2009, korban banyak terjadi justru karena panic dan kelelahan turun dari gedung.

“Di Jepang proses evakuasi berjalan tertib, semuanya antre mengikuti petugas. Perlakuan petugas terhadap warga jepang dan warga asing juga sama,” kata Dubes RI di Tokyo Muhammad Luhfi dalam wawancara dengan salah satu stasiun televisi.

Lalu bagaimana standar pengamanan dan evakuasi di gedung-gedung di Jakarta atau Indonesia? Hemm… Anda juga mungkin sudaa tahu. Kita bangsa pelupa. Pemerintah Indonesia hanya meningkatkan kewaspadaannya atau rebut-ribut ketika bencana terjadi  atau beberapa saat sesudahnya. Jika kondisinya sudah aman, ya biasa, lupa.

Saya pernah mengikuti jumpa pers di hotel bintang 5 di Jakarta, yang dikelola operator asing. Sebelum acara dimulai, ada petugas yang menjelaskan mengenai jalur evakuasi dan sikap kita ketika terjadi bencana. “Maaf ini sudah tugas kami untuk menjelaskan hal ini. Saya hanya minta waktu dua menit,” kata petugas itu.

Saat itu, memang terasa menganggu dan hal ini sepele. Sama seperti ketika naik pesawat, saat pramugari mengulang penjelasan  penggunaan alat pelampung dan oksigen. Namun, bagaimanpun itu seharusnya dijadikan kebiasaan. Harus menjadi prosedur tetap atau standar tetap.

Hotel bintang 5 yang memberikan penjelasan mengenai evakuasi itu, ternyata tidak melakukan  lagi ketika mengikuti acara beberapa bulan kemudian. Ternyata petugas hotel melakukan itu karena ada permintaan dari penyewa yang merupakan perusahaan asing. Ternyata yang dilakukan petugas hotel itu bukan merupakan standar pelayanan tetap. Cuma by order.  menyedihkan.

Saya yakin, gedung kantor lain, bahkan kantor anda sendiri mungkin tidak pernah memberikan pengetahuan secara rutin bagaimana caranya evakuasi dari gedung bertingkat. Atau coba tenggok tangga darurat di kantor Anda, jangan-jangan sudah menjadi gudang, atau mushola dadakan. Atau ada boks kecil yang berisi kopi dan rokok tempat OB jualan. Padahal tangga darurat harus bersih dari berbagai barang. Penjelasan yang membiosankan mengenai cara evakuasi juga harusnya jadi makan rutin kita, yang tinggal di negara rawan bencana. Meskipun terkadang membosankan seperti saat melihat pramugari menjelasakan penggunaan pelampung di pesawat.

Oleh: asdan | Februari 23, 2011

Menyambut pejabat!


Saya masih ingat betul, betapa senangnya jika diminta oleh guru untuk bersama-sama pergi ke Jalan Padjadjaran Bandung. Berarti tandanya akana da pejabat dari Ibu Kota yang dating. Ini adalah momen bersejarah, Pikir saya waktu itu.

Hampir semua siswa dikerahkan setiap Presiden Soeharto berkunjung ke Bandung. Saya senang, karena proses belajar mengajar dihentikan. Siapapun saya kira akan merasakan hal yang sama.

Sekolah saya, SDN Ayudia Bandung terletak tidak jauh dengan Jalan Padjadjaran Bandung. Ini Merupakan salah satu jalan utama di Bandung. Apalagi lokasinya berdekatan dengan Bandara Husein Sastranegara. Siapapun orang besar dari Jakarta yang ke Bandung menggunakan burung besi pasti akan melewati jalur Jalan Padjadjaran.

Di pinggir jalan raya, biasanya kami kemudian bergabung dengan siswa-siswi dari sekolah lain, dan warga masyarakat. Pingir jalan tampak ramai. Instruksinya cuma satu lambaikan tangan ketika rombongan tiba. Terkadang kami dibagikan bendera merah putih kecil terbuat dari kertas untuk membungkus dodol yang mudah robek.

Ini terjadi sekitar 20 tahun lalu, saat Presiden Soeharto masih berkuasa. Menyambut Presiden mungkin menjadi kewajiban saat itu. Karena, seingat saya, kegiatan ini tidak dilakukan sekali, selama 6 tahun saya mengenyam pendidikan di sekolah itu antara 1986-1992.

Selain senang karena tidak belajar, saya juga senang karena ingin melihat iring-iringan kendaraan presiden yang menggunakan mobil mewah lengkap dengan mobil pengawalnya. Saya, dan teman-teman tentunya sangat ingin melambaikan tangan kepada Presiden Soeharto yang saat itu dijuluki Bapak Pembangunan.

Mobil presiden akan berjalan pelan, dan presiden kemudian melambaikan tangannya kepada masyarakat yang menyambut, seperti Soekarno yang selalu melambaikan tangan ekpada warga dengan mobil terbuka seperti yang selalu saya lihat di televisi tidak berwana milik nenek saya waktu itu.

Pikiran ini salah betul. Rombongan Presiden Soeharto melaju dengan pesat. Alih-alih melihat Bapak Presiden secara langsung, saya tidak tahu Kepala Negara yang menjabat 32 tahun itu berada di mobil yang mana.

Lalu, setiap diminta kembali ke Jalan Padjadjaran pada bulan-bulan atau tahun-tahun berikutnya, saya sudah tidak peduli, bisa melihat wajah Bapak Soeharto secara langsung atau tidak. Saya hanya senang saja tidak belajar. Sepanjang ingatan, sampai sekarang, saya belum pernah melihat presiden kedua ini secara langsung.

Kenangan jaman SD itu selalu kembali melintas dalam pikiran saat mengikuti rombongan Wakil Presiden Boediono. Kali ini, posisinya berganti. Jika 20 tahun lalu saya yang menyambut berada di pinggir jalan, sekarang saya berkesempatan berada dalam rombongan Wapres, atau istilah yang digunakan oleh militer dan kepolisian adalah rangkaian. Ini merupakan iring-iringan Presiden atau Wapres yan akan dikawal dengan standar pengamanan penuh.

Beberapa kali mengikuti peliputan kunjungan kerja Wapres, saya berada di dalam bus yang merupakan dari rombongan itu. Hampir semua kunjungan Wapres ke daerah selalu disambut dengan siswa. Mulai dari siswa SD, SMP terkadang siswa SMA, sama ketika saya SD.

Ini mulai saya lihat ketika kunjungan kerja memantau beberapa sekolahan ke Jakarta Utara, kemudian ke Bekasi, hingga kunjungan kerja ke pelosok di Ende, Nusa Tenggara Timur dan di Mamuju-Majene Sulawesi Barat.

Ratusan, mungkin ribuan anak sekolah selalu berjejer di pinggir lapangan menyambut kedatangan orang nomor dua di republik ini. Ada rekan waratawan yang berpendapat sambutan meriah ini sebenarnya tidak perlu karena akan menyita waktu belajar. “Ini gaya Orde Baru,” ujarnya, sambil menambahkan jika Wakil Presiden sebelumnya Jusuf Kalla kurang menyukai disambut anak sekolah karena memang akan menyita aktu belajar. Jusuf Kalla, yang pengusaha itu memang pragmatis dan praktis. Semuanya dibuat sederhana.

Ah.. Saya tidak mau berdebat soal perlu atau tidaknya, menyambut Presiden dan Wapres saat berkunjung ke daerah. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa, bagi anak sekolah, apalagi berada di pelosok, melihat iring-iringan dan dikunjungi orang penting dari Jakarta adalah momen bersejarah.

Di Majene, saat kunjungan Wapres 18-19 Februari 2011, sang Bupati mengatakan jika selama ini belum pernah ada Presiden atau Wapres yang menyambangi daerahnya sejak merdeka. Paling banter adalah B.J. Habibie, itupun saat menjabat Menteri Ristek.

Jadi, kalau kali ini ada Wapres bersama sejumlah menteri yang datang ke pelosok. Ini merupakan suatu sejarah yang harus diapresiasi. Makanya, jangan heran jika Gubernur dan Bupati mengerahkan seluruh kekuatannya, termasuk mengerahkan anak sekolah untuk menyambut kedatangannya.

Toh, mereka juga terlihat senang, terkadang berteriak bersamaan, jika ada orang dalam mobil rombongan membalas lambaian tangannya. Meskipun dia tidak tahu bahwa yang membalas lambaiannya adalah seorang wartawan, seperti saya. Tidak mengapa, 20 tahun lalu pun saya tidak tahu pejabat-pajabat yang saya sapa dengan bendera merah putih kecil yang saya kibar-kibarkan.

Oleh: asdan | Februari 22, 2011

Jalan-jalan ke kelimutu, Flores


Menikmati pancaran tiga warna danau Kelimutu

Belum ke Flores kalau tidak ke Kelimutu. Ungkapan klasik yang menunjukkan sebuah ikon pariwisata yang wajib dikunjungi bila bertandang ke sebuah daerah.

Begitu juga saat saya menyambangi Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada di Pulau Flores, akhir tahun lalu. Kelimutu merupakan lokasi yang wajib dikunjungi, meskipun tak ada dalam jadwal perjalanan resmi saya.

Saya berkesempatan ke Pulau Flores untuk mengikuti kegiatan pemugaran situs Bung Karno di Ende oleh Wapres Boediono menjelang tutup tahun 2010. Karena jadwal penerbangan dari Ende ke Kupang lalu ke Jakarta sangat terbatas, kami tidak bisa langsung kembali ke Ibu Kota begitu seluruh kegiatan selesai. Akhirnya diputuskan untuk mengunjungi Kelimutu sebelum bertolak ke Jakarta.

Saya hanya punya waktu kurang dari setengah hari untuk menikmati pesona danau tiga warna Kelimutu yang pernah diabadikan dalam lembaran uang kertas Rp5.000 terbitan tahun 1992.

Kelimutu merupakan danau vulkanik yang terbentuk dari aktivitas gunung berapi dan merupakan kawah aktif. Tiga danau ini berada di kepundan Gunung Kelimutu yang berada 1.690 meter di atas permukaan laut.

Jika Anda pernah ke Gunung Tangkuban Parahu di perbatasan Subang dan Bandung atau ke Kawah Putih di Ciwidey, mekanisme pembentukan kawah danau ini hampir mirip.

Danau terbentuk di puncak gunung akibat aktivitas vulkanik. Namun, tentunya setiap kawah mempunyai pesona dan keunikan tersendiri.

Yang selalu membuat penasaran para pelancong, Kelimutu mempunyai tiga danau dengan warna berbeda dan selalu berubah, yaitu warna biru, putih dan merah. Dua diantaranya letaknya sangat berdampingan. Satu danau lagi berjarak sekitar 1,5 km. Masyarakat setempat meyakini warna-warni tersebut mempunyai makna tersendiri.

Begitu juga setiap terjadi perubahan warna, selalui dimaknai sendiri oleh penduduk yang masih menganggap daerah Kelimutu sebagai kawasan yang angker dan penuh misteri. Namun, secara ilmiah, warna danau sangat ditentukan oleh kandungan mineral, pengaruh biota jenis lumut dan batu-batuan di dalam kawah tersebut serta pembiasan dari cahaya matahari.

Dari pusat kota Ende, jarak ke Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu sekitar 65 km. Namun, perjalanan darat ditempuh dengan waktu sekitar 2 jam karena jalur jalan yang berkelok-kelok. Lebar jalan juga hanya cukup untuk satu kendaraan. Namun, kondisi permukaan jalan lumayan bagus, tidak banyak berlubang meskipun tidak mulus seperti di jalanan kota.

Saya menyewa kendaraan, karena itu pilihan terbaik. Jika menggunakan kendaraan umum, bisa menggunakan bus kota jurusan Ende-Maumere yang jumlahnya juga terbatas.

Wisatawan asing atau domestik yang ingin bertualang, umumnya menggunakan opsi ini. Menggunakan kendaraan umum hingga titik persimpangan di Kampung Moni, kemudian berjalan kaki. Sebagian wisawatan juga biasanya berangkat dari Maumere yang berjarak 84 km.

Hal utama yang perlu diperhatikan adalah waktu berkunjung. Menurut warga Ende yang mengantar rombongan kami, disarankan untuk tidak pergi pada siang atau menjelang sore hari karena biasanya kawasan danau diselimuti kabut. Jika sudah begitu, jangan harap bisa menyaksikan keindahan warna danau.

Maka waktu terbaik adalah dini hari. Saya pergi dari pusat kota Ende pukul 04.30 waktu setempat dan tiba pada pukul 06.15. Sebagian wisatawan juga biasanya menginap di Kampung Moni, perkampungan penduduk terakhir yang terletak di Desa Koanara, Kecamatan Wolowaru, sekitar 13 km dari puncak gunung. Ada beberapa penginapan yang bisa disewa dengan tarif terjangkau.

Sepanjang perjalanan Anda akan disuguhi pemandangan hutan berbukit dengan dominasi pohon pinus dan cemara.  Tidak terlalu banyak perkampungan penduduk mendekati lokasi. Terkadang Anda akan dihadang oleh babi hutan yang sengaja dipelihara warga, atau lembu dan sapi yang sedang digembala dipinggir jalan berbukit dan terjal.

Begitu sampai digerbang pintu masuk, Anda diharuskan membayar tiket Rp2.500 per orang. Tarif tiket ini tak pernah naik sejak 1998, yang ditetapkan melalui peraturan pemerintah. Kemudian perjalanan dilanjutkan beberapa kilometer lagi hingga ke lokasi parkir.

Di lokasi parkir kendaraan, beberapa warga setempat menjual kain tenun ikat lio, dan membuka warung kopi dan mi instan alakadarnya. Keberadaan warung ini sangat membantu bagi pelancong yang pergi dini hari dan belum sempat sarapan. Apalagi sepanjang jalan sangat sulit menemui warung apalagi toko. Kain tenun ikat juga bisa menjadi cendera mata yang menarik karena dijual dengan harga lebih rendah dibandingkan membeli kain ikat di bandara atau di kota.

Dari tempat parkir, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki sekitar 1 km dengan waktu tempuh 30 menit. Tak menyesal saya menggunakan jaket tebal. Suhu pagi hari waktu itu cukup dingin dan segar namun tak sampai membuat badan menggigil, sangat berbeda dengan suhu di pusat kota Ende yang panas dan membuat badan cepat berkeringat kemudian lengket.

Pertamakali, Anda akan menemui dua danau yang berimpitan. Saat itu kedua danau itu berwarna hijau dan biru muda atau biru langit.  Anda bisa menyaksikan keindahan pancaran warna air hingga bibir danau. Pagar pembatas tetap tak membuat para pelancong untuk tidak nekat menerobos dan mengambil view terbaik untuk berfoto.

Kelimutu berasal dari kata keli yang artinya gunung dan mutu yang berarti mendidih. Kelimutu sudah ditetapkan menjadi taman nasional dan konservasi alam pada 1992. Luas ketiga danau itu sekitar 1,05 juta meter persegi dengan volume air 1,29 juta meter kubik. Batas antardanau adalah dinding batu sempit dan mudah longsor. Dinding ini sangat terjal dengan sudut kemiringan 70 derajat. Ketinggian dinding danau berkisar antara 50 meter hingga 150 meter.

Warga setempat meyakini ketiga danau itu merupakan tempat arwah bersemayam yang sudah meninggal. Danau pertama yang kami lihat berawarna biru disebut tiwu ata polo atau tempat arwah orang yang sering melakukan kejahatan. Luasnya sekitar 4 hektare dengan kedalaman 64 meter. Biasanya danau ini berwarna merah.

Danau kedua saat itu berwarna hijau yang dinamai tiwu nua muri ko’o fai atau tempat arwah para pemuda dan pemudi.  Pagi itu, warna danau cerah. Waktu dihabiskan untuk mengambil foto. Beberapa wisatawan juga berasal dari Jakarta. Mereka berasal dari perusahaan BUMN yang juga ikut kegiatan Wapres Beodiono selama di Ende yang juga ingin menyempatkan keunikan danau tiga warna itu. Dua orang wisatawan asing juga terlihat. Mereka bahkan berjalan kaki dari Kampung Moni.

Satu danau lagi yang biasanya berwarna biru di sebelah barat. Loaksinya terpisah. Warga memberi nama tiwu ata mbupu atau tempat arwah para orang tua.

 

Wisawatan harus menempuh waktu sekitar 30 menit lagi dengan kondisi jalan yang menanjak untuk menuju puncak gunung dan menyaksikan danau ketiga. Sayang, waktu saya tidak akan mencukupi karena harus segera ke Bandara Haji Hasan Aroeboesman untuk terbang ke  Kota Kupang jam 12.00. Kami memutuskan untuk kembali ke Ende dan hanya berharap melihat keindahan danau ketiga di foto teman saya yang mempunyai jadwal lebih longgar karena akan kembali ke Jakarta pada esok hari.

 

Oleh: asdan | Februari 10, 2011

Autumn in Japan


Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Oleh: asdan | Februari 10, 2011

Menata kota agar lebih efisien dan cerdas


Tulisan ini merupakan artikel saat saya mengikuti pertemuan asosiasi tata kota di Taiwan

Kota-kota di berbagai belahan dunia terus berbenah. Mereka merevisi rencana induk tata ruang seiring perubahan iklim, krisis ekonomi  dan keterbatasan lahan. Pengelola kota di negara maju giat melakukan berbagai inovasi agar bisa melayani kebutuhan warganya secara efektif dan menjadi kota yang cerdas.

Krisis finansial global yang melanda hampir seluruh pelosok negara pada 2009, telah membuat pekerjaan baru bagi para perancang kota di dunia. Tata kota yang tidak efisien dituding memberikan kontribusi besar dalam perubahan iklim dan pemanasan global, karena mengonsumsi energi yang sangat besar.

Kota-kota yang sudah maju berbenah dan memperbanyak penyediaan infrastruktur dan transportasi publik. Kota-kota berkembang juga mulai mengadopsi berbagai  teknologi dan inovasi dalam menata kota. Pembangunan gedung-gedung bertingkat diperkotaan mulai dikendalikan dan ditata ulang agar lebih terintegrasi dengan berbagai fungsi publik.

Baca Selengkapnya..

Older Posts »

Kategori